Subscribe Us

Dengan Paksaan, Polda Papua Ambil Cap Jempol Korban Penembakan Tolikara

Header advertisement

Salah satu korban penembakan yang sedang dirawat di RSUD Jayapura - Jubi
Salah satu korban penembakan yang sedang dirawat di RSUD Jayapura - Jubi
Jayapura, Jubi – Anggota Kepolisian Daerah (Polda) Papua melakukan pemaksaan terhadap korban penembakan Tolikara di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dok 2 Jayapura, untuk menandatangani surat yang tidak diketahui isinya.
Pernyataan tersebut dilaporkan para korban dan keluarganya kepada JUBI, Selasa (28/7/2015).
Dari enam korban penembakan yang dirawat di ruang bedah pria RSUD Dok 2, dua diantaranya dimintai tanda tangan ‘cap jempol’ secara paksa dari seorang pria yang mengaku dari Polda Papua.
“Dia tarik saya punya tangan, baru cap di kertas,” kata ‎Amaten Wenda. Ia ditembak dilengan kanan atas, dan harus menjalani dua kali operasi akibat peluru yang menghancurkan tulangnya.
Lengan kanannya masih terlilit perban dan masih mengalami pembengkakan. “Saya tidak mau, tapi dia paksa, tidak bisa melawan karena (tangan) sakit,” jelas pria 30 tahun yang berprofesi tani tersebut.
Selain Wenda, Mantri yang mendampingi keenam pemuda itu mengatakan hal sama dilakukan terhadap Yetimbulu Yikwa (Gatimbulu).
“Dia bisu, tidak bisa bicara. Orang itu (oknum polisi) datang, bicara ke dia tapi dia (Yikwa) tidak bisa balas. Trus, orang itu ambil tangannya baru kasi jempol di cap trus cap lagi di kertas,” mantri Jekson Weya menjelaskan.
Upaya pengambilan tanda tangan dengan cara kekerasan dan pemaksaan tersebut dilakukan pada Minggu (26/7).
Sementara itu, beberapa korban lainnya mengaku menolak penandatangannya tersebut karena tidak dijelaskan maksud pengambilan data dan tandatangan.
“Saya tolak, saya tidak tahu untuk apa. Saya harap orang tua, gereja, bisa cek ini,” kata Yulianus Lambe, yang ditembak dipaha kiri.

Minim Perhatian Medis
Ketua Pemuda GIDI, Yadinus Mabel menyesalkan tindakan polisi yang mengambil tandatangan korban dengan kekerasan.
“Saya sesalkan sikap aparat itu. Tangannya masih sakit kok ditarik? Itu mencurigakan. Kalau niat menolong kan tidak bisa begitu disuruh cap,” kata Mabel.
Mabel mengatakan, dirinya telah bertemu dua orang anggota Polda Papua yang pas mendatangi korban untuk mengambil ttd korban lainnya, pada senin. Kepada mereka, Mabel mengatakan untuk tidak mengganggu korban lagi yang sudah trauma atas peristiwa tersebut.
“Kita sudah punya pengacara. Jadi, kalau. Mau ketemu, silahkan hubungi kuasa hukum kami. Pihak kepolisian, yang mau mencari data silahkan ke pengacara kami,” tegasnya.
Amos Kobak, Wakil Ketua Pemuda GIDI yang juga ikut membesuk mengatakan, hal-hal seperti pemaksaan tersebut bisa terjadi karena perhatian dan kontrol pihak medis yang lemah.
“Kami juga menyesalkan tidak ada perhatian medis. Ada pasien didalam, baru membiarkan orang lain masuk, menggunakan paksaan, mengambil tanda tangan. Harusnya mereka membantu pasien agar tidak terganggu kenyamanannya,” ucap Kobak.
Ketua Pansus HAM DPR Papua, Laurenzus Kadepa juga mengecam tindakan paksa ini.
“Saya tidak setuju kalau dengan paksa, polisi memaksa pihak korban untuk mengambil sidik jari mereka. Apapun alasannya, itu tak dibenarkan. Apalagi kalau korban tak tahu tujuan mengambil sidik jari itu untuk apa,” katanya.(Yuliana Lantipo)

Posting Komentar

0 Komentar